Malili, Lutimterkini- Mahkamah Konstitusi (MK) telah meregistrasi 132 permohonan sengketa atau perselisihan hasil pemilihan kepala daerah tahun 2020. Dari ratusan permohonan (gugatan) yang dilayangkan ini, terdapat 5 daerah di Sulawesi-Selatan yang membawa masalah PHP ini ke MK. Rata-rata materi gugatan yang dilayangkan para pemohon sudah diselesaikan di tingkat Bawaslu.
Lalu, bagaimana tanggapan para pakar hukum menyikapi sengketa / gugatan pilkada yang telah ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan masih dibawa ke Mahkamah Konstitusi ? Berikut ini pandangan Dr. Margarito Kamis, salah seorang pakar hukum tata negara dalam bincang ekslusif dengan pewarta Lutimterkini.com, via telepon selular Kamis (28/01/2021).
“ Yang diputuskan Bawaslu itu prosedur. Tapi memang harus diakui bahwa prosedur itu menghasilkan angka. Kalau sudah diputus atau ditindaklanjuti oleh Bawaslu dan pemohon tidak menerima maka harus dibanding (kasasi) ke Mahkamah Agung. Nah, jika tidak banding atau kasasi i maka putusan Bawaslu itu bersifat final (inkracht).,’ beber Margarito.
Dia melanjutkan, Walaupun Putusan Bawaslu tidak menggugurkan hak mereka (pemohon) untuk mengajukan gugatan ke MK, namun gugatan pemohon menurut Margarito adalah argumen yang sudah difaktai dan sudah diputuskan di Bawaslu sudah tidak tepat lagi diajukan ke sidang MK. Itu konsekuensi dari kewenangan yang diberikan kepada Bawaslu.
“ Sebagai penyelenggara pemilu Bawaslu diberi kewenangan dengan konsepnya adalah prosedur. Nah, karena prosedur itu sudah dinyatakan (dilimpahkan) menjadi wewenang pemeriksaan Bawaslu maka suatu keputusan yang dikeluarkan adalah final. Jika mereka (pemohon) tidak men-challenge itu maka suatu perkara (gugatan) sudah tidak tepat lagi diuji di Mahkamah Konstitusi,” ujar pakar hukum kelahiran Ternate ini.
Mengenai adanya gugatan karena adanya indikasi penggelembungan suara, maka sudah tepat dibawa ke MK untuk diperiksa. “ Indikasi penggelembungan suara memang masuk dalam pemeriksaan MK dalam jangkauan kewenangan MK sendiri,” tambahnya.
Menurut dia, pemeriksaan terhadap indikasi penggelembungan suara tidak serta merta mengabulkan gugatan pemohon. “ kalau diperiksa( dugaan) penggelembungan suara itu iya. Mengenai dikabulkan atau tidaknya belum tentu, sangat tergantung pada level signifikansinya. “ jawab Margarito.
Dia mencontohkan, jika ada selisih suara sekitar 2.000 sementara yang dipersoalkan hanya sekitar 200 suara, itu tidak signifikan.
Terkait ambang batas selisih suara (syarat formil) sesuai dengan pasal 158 menurut Margarito tidak secara absolut menolak selisih suara yang diajukan pemohon. “ dari awal saya berpendapat bahwa pasal 158 tidak bisa dijadikan penghalang secara absolut untuk mengajukan PHP ke MK dengan catatan jika ditemukan kekeliruan-kekeliruan ekstrim. Ekstrimitas itulah yang harus dijadikan justifikasi untuk melampaui larangan (ketentuan) dalam pasal 158 tersebut. Kendatipun itu selisih yang lebih dari ambang batas tapi penyelenggaraan pemilu begitu ekstrim salahnya, maka itu menjadi alasan yang membenarkan pasal 158 harus di kesampingkan.
“ Sekali lagi, jika kekeliruan itu nyata-nyata didesain dari awal katakanlah terstruktur, sistemastis dan massif atau saya biasa menyebutnya ekstrim injustice, maka sekali lagi penrapan pasal 158 mengenai prosentase hasil harus dikesampingkan,” pungkas Margarito Kamis. (LT/eks/ACS).